Pemuda ialah
pemegang tongkat estafet penerus bangsa. Pemuda itu sesiapa saja yang sedang
tumbuh dewasa yang mana sedang dalam pembentukan karakter. sebagai pemuda harus
memiliki potensi yang melejit untuk kemakmuran bangsa. Mari menjadi pemuda yang
cerdas dan berkarakter dengan jalan kenabian dan salafus saleh.
Memang benar
pemuda sekarang banyak yang menyukai hal-hal yang kurang bermanfaat contohnya
pertama, dunia entertainment banyak memikat para pemuda daripada
keseriusan membaca dan menelaah buku. Kedua, ngobrol dan gosip lebih diminati
daripada mendiskusikan ilmu. ketiga, pemuda-pemuda lebih menikmati kongkow-kongkow
dari pada serius mengkaji suatu masalah. Kurangi atau bahkan hilangkan hal-hal
yang tidak bermanfaat untuk kita sebagai para pemuda generasi penerus umat.
Dalam buku
karya Dwi Budiyanto yang berjudul Prophetic Learning kita diajak untuk menjadi
pemuda yang cerdas memiliki karakter dengan cara menata pikiran, menata mental,
menata sarana belajar, menata kebiasaan-kebiasaan muslim pembelajar, dan dengan
kerja sama.
Mari kita tiru
semangat para generasi pembelajar atau generasi salafus saleh, generasi islam
pertama yang mana mereka amatlah gigih dalam mencari ilmu, mereka juga memiliki
tradisi belajar yang sangat tinggi. Seperti tuturan salah satu dari para
generasi salafus saleh yang bernama Imam an-Nawawi Ia menuturkan bahwa “jangan
engkau meremehkan suatu ilmu dalam bidang apa saja”. Jadi disini sebagai pemuda
kita tidak boleh meremehkan ilmu sekecil apapun, dalam bidang apapun pula,
karena setiap ilmu itu memiliki manfaat masing-masing. Kita sebagai pemuda
harus semangat untuk tetap mencari ilmu, memiliki sikap akan haus kepada
ilmu seperti Imam Malik salah satu dari generasi
salafus saleh menolak tawaran khalifah untuk mengajar putra-putranya di Istana,
sebab ilmu itu didatangi bukan mendatangi! Inilah motif atau sikap yang
menghantarkan kesuksesan dalam belajar.
Sukses dalam
belajar ini perlu dimulai dengan motivasi, ya motivasi. Tentunya motivasi yang
kuat serta benar semata-mata ikhlas untuk mencari ridho Khaliq yaitu tauhid,
karena dengan motivasi yang kuat ini menunjukkan karakter yang kuat dan hanya
Allahlah sang pemilik ilmu. Menurut Imam Al- Ghazali ada tiga hal yang mampu
mengerahkan potensi diri kita dalam proses belajar ketika ditunjang oleh kemauan
yang kuat. Pertama,kita harus menguasai materi bidang yang kita pelajari. Kedua
merancang penerapannya. Ketiga, memperkaya pengalaman-pengalaman. maka dari itu
sang pemuda haruslah memperluas lingkungan belajarnya tidak hanya dalam
persekolahan saja.
Selain itu
untuk menjadi pemuda muslim pembelajar yang cerdas harus terhidar dari maksiat.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan dalam bukunya Jawabul Kafi,”
perbuatan maksiat adalah factor terbesar yang benghapus berkah usia, rezeki,
ilmu, dan amal.” Amat besar efek yang ditimbulakna dari perbuatan maksiat ini
karena tidak akan membawa manfaat apa-apa bagi kita.
Inilah
kesadaran yang dimiliki generasi salaf, ketika mereka menuntut ilmu, mereka
berangkat dari motivasi yang benar, proses belajar yang gigih dan disiplin
dalam mengembangkan diri, lapang dada dalam berbagi ilmu, jelas ketika
berkontribusi, melejit ketika berkelompok, serta pikiran untuk memanfaatkan
ilmu sebanyak-banyaknya bagi kemaslahatan masyarakat dan islam. Berangkat dari
inilah kesuksesan para pemuda dimulai.
Langkah awal yaitu
dengan menata pikiran, pikiran yang mengendalikan kita dalam bertindak. Di
dalam bukunya, Dr. Muhammad al-Ghazali menuturkan kisah menarik yaitu suatu
ketika Rasullullah Shallallahu’alayhi wa Sallam membesuk seorang Arab
desa yang sedang sakit demam. Beliau menghibur dan membesarkan hati orang
tersebut,”Semoga penyakitmu menjadi penawar dosa!”
“Ya Rasul, mana
mungkin. Ini demam yang mendidih menimpa pada seorang tua renta sepertiku untuk
menyeretnya ke liang kubur!” kata lelaki itu.
Mendengar
keluhan orang itu, Rasulullah berkata, “ Ya sudah kalau begitu, akan demikian
jadinya!”
Dari kisah
tersebut maka pikiran yang akan mempengaruhi kondisi kita, bisa dibilang
pikiran merupakan nutrisi yang dibutuhkan kita, bahkan juga bisa dibilang racun
yang mematikan diri kita. Apabila kita memikirkan kebahagiaan, kita akan
bahagia, kalau kita berpikir sedih, maka kita akan sedih. Jika kita berpikir
sukses, maka akan sukses. Jika kita berpikiran gagal, maka gagal yang akan kita
temui, dan begitu seterusnya.
Pikiran
merupakan arah, sementara mental memberikan suntikan energy yang akan
menghasilkan tindakan. Menata pikiran akan mempermudah kita para pemuda untuk
menata mental. Pikiran yang positif akan membentuk mental yang positif, begitu
pula sebaliknya. Pikiran yang buruk akan membentuk mental kita kurang
bersemangat dan tidak memiliki kemauan serta membentuk mental kurang memiliki
keberanian untuk mencoba banyak hal, sebagai bagian dari aktivitas belajar.
Maka penataan pikiran perlu diarahkan untuk mendapatkan mental dan kemauan yang
kuat.
Salah satu dari
kalangan salafus saleh Ahamad Ismail al-Muqadim menyatakan, ”Kesempurnaan
setiap orang bergantung pada kesempurnaan dua hal, yaitu kemauan yang
mengangkatnya, dan ilmu yang membimbingnya.” Kemauan mendorong kita untuk
selalu mengembangkan potensi, terus-menerus belajar serta pantang menyersh.
Walaupun seringkali gagal tetap sabar untuk meraih sukses. Seperti halnya
Thomas Alfa Edison, untuk menemukan satu lampu pijar yang baik, ia lakukan
dengan ribuan percobaan, sekaligus ribuan kegagalan hingga akhirnya temuannya
dapat diterima dengan baik.
Selain itu
dicontohkan pula pada kisah Musa ketika ia ingin belajar pada Khidir. Ternyata
Khidir memberi persyaratan KESABARAN dengan sebuah persyaratan,” Sungguh kamu
tidak akan sanggup sabar bersamaku (QS al-Kahfi : 67),” kata Nabi Khidir.
Ternyata dalam belajar tidak sekedar perlu kemauan yang kuat, tetapi juga
kesabaran yang baik, kemauan memberikan dorongan untuk mengambil tindakan.
Sementara itu, kesabaran menjaga stamina kita untuk tidak segera menyerah
ketika berhadapan dengan tantangan.
Sebagai pemuda
untuk menujang kecerdasan dalam belajar penataan sarana belajar juga penting
agar dikala pembelajaran berlangsung kondisi sekitar kita nyaman digunakan.
Pilih tepat yang nyaman seperti Imam Syafi’i misalnya memilih Masjid sebagai
tempat belajar yang nyaman bagunya. Nasihat Syeh Sa’id Hawwa dalam bukunya Qanuunul-Bait
al-Muslim hendaknya seorang Muslim memerhatikan hal-hal berikut agar
kondisi tempat belajar nyaman:
1.
Membiasakan
untuk membuang sesuatu pada tempatnya yang telah disiapkan
2.
Mengatur
waktu tertentu untuk mencuci pakaian dan perabotan bekas makanan
3.
Apa-apa
yang ada dalam ruangan tertata rapi dan ditempatkan pada tempatnya. Apabila
telah selesai menggunakan suatu barang harus segera dikembalikan pada
tempatnya. Keadaan ini akan membantu kita untuk mencari barang yang kita
perlukan selama belajar dengan mudah.
4.
Semua
barang-barang diatas meja seperti buku-buku, kertas-kertas penting disusun
dengan baik dan rapi, mengklasifikasikan buku-buku secara baik dan menatanya
dengan rapi.
Selain sarana
belajar, waktu belajar juga sangat penting. Rahasia waktu telah diungkapkan
oleh Allah dalam surat Al-Muzammil. “Sesungguhnya bangun di
waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih
berkesan.” (QS. Al-Muzammil : 6)
Kita
sebagai pemuda perlu mengikuti petunjuk Allah selain itu jiga mengikuti
kalangan salafus saleh. Perhatian mereka terhadap waktu-waktu khusus untuk
belajar ini sangat diperhatikan sebagian mereka menggunakan waktu malam sebagai
waktu untuk belajar. Al Khathib bin al-Baghdadi pernah mengatakan,” waktu
belajar yang paling baiak adalah waktu malam. Itulah yang biasa dilakukan oleh
ulama-ulama Salaf. Sebagian mereka mulai melakukannya selepas shalat Isya dan
baru selesai begitu mereka mendengar seruan adzan Subuh.” Ini bukan berarti
waktu siang tidak baik digunakan untuk belajar bahkan setiap saatpun, kapanpun,
dan dimanapun kita wajib atau harus belajar dan terus belajar.
Selanjutnya
sebagai pemuda muslim pembelajar yang baik dan berkarakter ia memiliki
kebiasaan membaca. Iqra’ merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wahyu yang pertama ini diperintahkan untuk membaca bukannya shalat, puasa, atau
zakat, Maka membaca memiliki makna yang sangat mendalam. Ibnu Katsir memberikan
komentar bahwa ayat-ayat pertama yang diturunkan Allah merupakan rahmat Allah
yang terbesar untuk umat manusia. Allah menyuruh rasulullah Shallallahu’alayhi wa Sallam untuk gemar membaca. Perintah membaca dengan bismi robika ‘dengan
nama rabb-mu’ Ibnu Katsir memaparkan bahwa ke gemaran membaca harus di landasi
harapan untuk mendapat hidayah dari Allah. Mereka yang menjadikan kegiatan
membaca sebagai tradisi dalam hidupnya akan mendapatkan pencerahan jiwa dan
akal. Melalui aktifitas membaca Allah akan menganugerahkan pemahaman, wawasan,
dan ilmu pengetahuan.
Kegiatan
membaca identik dengan buku. Generasi awal islam memiliki anggapan bahwa
buku bukan suatu yang memberatkan.
Mereka menganggap buku sebagai makanan bagi jiwa dan pikiran mereka. Itulah sebabnya,
terkadang mereka lebih mencintai buku dari pada yang lainnya. Seperti Syahib
Ibnu Abbad . ia menolak menjadi perdana menteri Samarkand. Alasannya, dia akan
kerepotan untuk memindahkan buku-bukunya karena di butuhkan 400 ekor unta untuk
bekerja memindahkan buku-bukunya ke Samarkand. Hanya karena buku ia menolak
menjadi perdana menteri.
Begitu
juga kisah Imam an-Nawawi tidak kalah menarik digunakan sebagai motivasi kita
sebagai pemuda untuk tetap semangat memberi kontribusi. Diceritakan oleh
al-Badar bin Jamaah rahimahullah. Suatu saat Imam an-Nawawi ditanya
tentang pola tidurnya. Dengan sederhana beliau menjawab, ”Setiap kali mengatuk
berat, aku tidur dengan bersandar pada tumpukan kitab lalu aku terbangun lagi.”
al-Badar menambah ceritannya, “setiap kali aku mengunjungi Imam an-Nawawi, ia
menumpuk kitab-kitabnya supaya ada sedikit ruang untuk aku duduki.”
Masih
mengenai Imam an-Nawawi. Al-Qathbu al-Yunini yang bercerita, “An-Nawawi adalah
orang yang tidak mau membuang-buang waktu, baik siang maupun malam . ia selalu
menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Bahkan saat sedang dala perjalanan pun ia
tetap sibuk menghafal dan membaca buku.”
Hasan
al-Banna mengatakan, “Hendaknya Antum pandai membaca dan menulis, memperbanyak
menelaah buku, Koran, majalah, dan tulisan lainnya, serta hendaknya Antum
membangun perpustakaan khusus, seberapapun ukurannya.”
Sebagai
pemuda perlu juga untuk berjamaah atau kerja sama, dengan kerja sama segala
pekerjaan dapat diselesaikan dengan mudah dan terasa ringan. Seperti contoh
burung angsa, dalam bukunya Harun Yahya yang berjudul Menyingkap Rahasia
Alam Semesta. Angsa terbang
bersama-sama dengan membentuk formasi V, mereka terbang bersama-sama menambah
kekuatan terbang mereka menjadi kuat tidak mudah terombang-ambing, dengan
bagian depan sebagai pemimpinya, apabila bagian depan letih maka ia akan
berpindah kebelakang dan membiarkan angsa yang lain memimpin. Angsa-angsa ini
juga bersuara serempak sebagai tanda semangat bersama serta sebagai pemupuk
motivasi angsa bagian depan. Dengan cara ini mereka memiliki ritme terbang yang
sama. Apabila ada angsa yang sakit atau letih keluar dari formasinya makan akan
diikuti dua angsa mereka akan menolong dan melindungi angsa itu hingga mati
atau sembuh sehingga bisa menyusul kelompok terdahulu atau membentuk formasi
tersendiri.
Begitulah,
dengan kerjasama mampu merampungkan kerja-kerja yang lebih berat, bahkan bisa
menambah keilmuan kiata, karena tidak mungkin dalam diri kita dapat menguasai
semua ilmu. Masing-masing orang memiliki kemapuan keilmuan yang berbeda-beda
maka dibutuhkan kerja sama untuk saling melengkapi satu sama lain.
Semoga
proses belajar kita menjadikan pemuda muslim yang unggul, cerdas, berkarakter,
sehingga dapat menyelesaikan tantangan dimasa depan dengan kemauan yang kuat,
kesabaran yang tinggi sehingga mampu membawa kejayaan Bangsa karena Allah ta’ala,
memiliki pola pikir dan sikap yang terarah, sehingga menghasilkan
karya-karya dan ide-ide baru. Sebagaimana perkataan Muadz bin Jabal radhiyallahu’anhu
,”Tuntutlah ilmu pengetahuan karena dengan ilmu akan menimbulkan rasa takut
kepada Allah. Mempelajari ilmu pengetahuan merupakan ibadah, menela’ahnya
dianggap membaca tasbih, meneliti itu setara jihad,mengajarkan kepada orang
lain dihitung sebagai sedekah, dan mendiskusikannya dengan para pakar dianggap
sebagai suatu bentuk kedekantan dengan-Nya.”
Semoga
Allah menolong kita!
Referensi
Budiyanto,
Dwi 2009. Prophetic Learning. Yogyakarta: Pro-U Media
***
essai ini tercetak dalam buku Antologi Kontribusi Pemuda untuk Bangsa. yang saat itu saya ikutkan dalam lomba penulisan essai tersebut.Alhamdulillah dikategorikan sebagai naskah pilihan dan di bukukan.