Sebuah judul yang mungkin mewakili jerit hati dan harapan para wanitayang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah, namun saat itu pinangan takkunjung tiba. Bisa jadi dikarenakan tersembunyinya keadaan wanita sholihah,mereka adalah wanita-wanita yang memiliki rasa malu yang tinggi, sehinggakeadaan mereka tidak dikenal, tidak diketahui oleh para ikhwan, hingga parawalinya memberitahukan kepada seorang lelaki yang menurutnya sholih dan baikagamanya, seorang penuntut ‘ilmu yang istiqomah dalam usahanya.
Tidak sebagaimana lelaki yang dikenal jelas sepak terjangnya, usianya,akhlak dan adabnya di luar sana, dikarenakan memang lelaki lebih banyak keluarrumah dan berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya, bekerja, mendatangisholat jama’ah, dan berinteraksi sosial dengan tetangganya. Maka wanita tidakdikenal, tempat mereka adalah di rumah, ketika keluar tertutup dirinya denganhijab syar’iynya. Atau mereka berada di ma’had-ma’had sunnah menuntut ‘ilmudengan rajinnya. Maka betapa banyak lelaki sholih kesulitan menemukan merekajika wali para wanita ini tidak turut aktif dalam mencarikan jodoh yang baikbagi putri atau wanita yang berada di bawah perwaliannya.

Hal ini sudah dilakukan oleh para orang-orang sholih terdahulu, parasalafuna ash-sholih, mereka mengisi lembaran sejarah dengan hal-hal yangmenakjubkan dan patut dicontoh oleh para wali di zaman setelahnya, bagaimanamereka mengemban amanah, dan mereka menjalankan amanah itu sepenuh hati,melaksanakannya dengan penuh kebaikan…

Lihatlah apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidakmenyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab rodhiyalloohu ‘anhu.Ketika putrinya Hafshah rodhiyalloohu ‘anha menjanda karena ditinggal matisuaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi rodhiyalloohu ‘anhu di Madinah, ‘Umar rodhiyalloohu‘anhu mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan rodhiyalloohu ‘anhu yang belum lama ditimpamusibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasratmenikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkanurusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsmanberkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah,‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq rodhiyalloohu ‘anhu dengan maksud yangsama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,”kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakrseperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangantersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umardan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshahkepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “

“Iya,” jawab Umar.

“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu.Hanya saja aku tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernahmenyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam tersebut. Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakrmenjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)

Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patutkita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab rohimahullooh,yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullahini bercerita, “Aku biasa duduk di majelis Sa’id ibnul Musayyab gunamendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku absen dari majelisnya, hinggaSa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, iabertanya, “Dari mana engkau?”
“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,”jawabku.

“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisamenghadiri jenasahnya?” tanya Sa’id.

Setelah beberapa lama berada dalam majelis, aku ingin bangkituntuk pulang. Namun Sa’id menodongku dengan pertanyaan, “Apakah engkau inginmencari istri yang baru?”

“Semoga Allooh Ta’ala merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan akudengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali uang sebesar duaatau tiga dirham?” jawabku.

“Aku orangnya,” kata Sa’id.

“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku

“Iya,” jawab Sa’id.

Ia pun memuji Allooh Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesardua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaanaku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali kerumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakanshalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu akusedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untukberbuka. Tiba-tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.

“Sa’id,” jawab si pengetuk.

Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpaterlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid.Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab.Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Akuberkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untukmemanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”

“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.

“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.

“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak sukaengkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorangwanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telahmenjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku.Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadapKitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”

Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntungmempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia.Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwanuntuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putrakhalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuhdengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’laminNubala`, 4/233-234)

Sungguh telah ada di hadapan kita, bagaimana para wali yangmenawarkan wanita-wanita yang ada di bawah perwalian mereka, menacari seorangpemuda yang sholihah, atau juga menawarkan putrinya kepada seseorang yangdipandangnya baik agamanya. Maka adalah kewajiban bagi para wali untukmelaksanakan tugas amanah ini dengan penuh kebaikan.

Bukan orang yang kaya yang dipilih oleh sang wali, bukan pulapejabat yang memiliki kedudukan yang tinggi, juga tidak memilih ketampanan yangkatanya untuk memperbaiki generasi, namun seorang pemuda yang sholih, seseorangyang baik agama dan akhlaknya, seorang penuntut ‘ilmu, seseorang yang memahamidengan baik hokum-hukum dalam agamanya. Tidak juga sang wali menanyakan apakahsang lelaki sudah sarjana atau belum, pekerjaannya mapan atau tidak,kendaraannya apa dan sudah memiliki rumah sendiri atau tidak.

Demikian juga hendaknya seorang saudara lelaki, hendaknya tanggapakan tanggung jawab dan kewajibannya kepada saudari-saudarinya, tatkala sangayah tidak mampu memilihkan jodoh yang baik bagi putrinya, maka hendaknya diamembantu sang ayah untuk mencarikan jodoh yang baik bagi saudarinya, tidakperlu gengsi dan malu untuk menawarkan kepada temannya satu kajian, atauseseorang yang dia kenal baik agamanya, lurus manhajnya, dan benar-benarseorang salafiyyin penuntut ‘ilmu yang bersahaja… jangan hanya memikirkan dirisendiri saja mencari akhwat sholihah, namun saudarinya dibiarkan mencaripasangan hidupnya sendiri tanpa arah…

Semoga catatan kecil ini mampu memberikan keterbukaan hati kepadapara wali, bahwa tugas yang mereka emban sangatlah berat, namun memiliki pahalayang melimpah… Dalam riwayat dari Anas bin Malik rodhiyalloohu ‘anhu,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kedekatannya dengan orangtua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada harikiamat:

“Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anakperempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nantidalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jarijemarinya. (HR. Muslim no. 2631)

Al-Imam An-Nawawi rohimahullooh menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkankeutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikannafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh ShahihMuslim, 16/178)


Alloohul musta’an walloohu a’lamu bish showab

Oleh Andi Abu Hudzaifah Najwa